Sintaku

Sintaku,
    Bagaimana kabarmu? Kuharap kamu baik-baik saja dengan segunung laporan-laporan dan berkas-berkas yang harus kau tanda-tangani, mungkin tanganmu harus lebih kuat lagi untuk menyelesaikan itu semua, matamu juga harus siap melek, bibirmu juga pasti lebih sering komat-kamit didepan orang-orang, kamu kan sudah menjadi pejabat dinegeri Para Bedebah itu, Diana anak pak petani temanmu itu yang memberitahukannya kepadaku.
    Oya, bagaimana dengan studimu sinta ? melanjutkah? Bukannya menjadi salah satu pejabat tinggi dapat memuluskan segala urusanmu?
Tapi aku tak percaya itu pasti kamu menempuh jalan yang baik-baik, wong nyontek aja kamu nggak mau. Bagaimana dengan kecintaanmu terhadap lingkungan semakin menggilakah? Pastilah kau terus memperjuangkan hak-hak untuk hidup pepohon itu, seperti saat kau marah ketika orang-orang menempelkan papan reklame di pohon-pohon sejajat menuju kampusmu dulu. Hehehehe. Bagaimana dengan asap rokok? Masihkah elergi? Masihkah sama? Aku jadi ingat makan malam kita setelah hujan turun itu di warung bakso asli daging sapi (ads) di persimpangan setiabudi-dokter Mansur, jaga bumimu, aku dan kamu dari penyakit yang disebabkan dari batangan putih ini, kamu mengatakan itu Sinta sembari jejari lentikmu menggeser kotak rokok merek sampoerna disampingku.
    Maaf Sinta bukan aku tak menurutimu, malam itu aku memang mengangguk, tapi percayalah bibir-bibirku masih terus mengepul asap-asap yang membuat kau elergi itu. Tapi Sinta, aku hanya kasian pada para petani tembakau yang mempunyai pilihan lain dengan tembakau yang mereka hasilkan selain mereka membuatnya sebagai rokok, aku juga berbaik-budi dengan Negaraku Sinta, karena rokok para bapak senang melihat anaknya berangkat sekolah, para anak muda kampong senang balapan diaspal hitam, dari batangan putih itu Sinta, aku juga turut menyumbangnya.
    Masalah ragaku biarlah aku yang menanggung, setidaknya lidahku masih berfungsi baik untuk member sinyal jikalau tubuhku tak ingin menikmati asap yang membuat kamu alergi itu Sinta.
    Aku tak ingin membahas tentang bumi bersamamu Sinta aku takut kamu nanti tersinggung hihihihi. Oyha masalah dengan dirimu, jikalau kamu tidak ingin menghirup asap rokokku dengan alasan medis aku masih bias kok permisi utuk-utuk ke kamar mandi, hehehe, seperti yang kulakukan di pusat pembelanjaan handphone itu Sinta, sebenarnya aku kekamar mandi bukan untuk buang air, tapi…..
Heuheuheuheu…
    Sekali lagi maaf Sinta jika pesanku kali ini lebih panjang dari biasanya, biasanya kan kita Cuma tag-tag-an foto meme di instagram, balas-balasan private messeage di BBM yang kadang aku suka ge-er, heuheuheu, aku harap kamu belum muak membacanya.
    Sintaku semenja kegagalan kita menonton film Filosofi Kopi di bioskop yang kita rencanakan-rencanakan itu, iya loe yang sampe aku bela-belain cari tutorial tips menonton bioskop bareng gebetan, ouh iya waktu itu kamu masih gebetanku sinta hehehe jadi malu.
    Entah kenapa semenjak kegagalan rencana itu setiap pagi aku asik dengan secangkir kopi, beberapa batang rokok dan setumpuk putungan  sisa rokok semalam diasbak. Mungkin aku terobsesi untuk mencari arti filosofi kopi untukmu melalui versiku.
    Tapi kabar buruknya Sinta, aku adalah pemikir yang buruk. Sampai sekarang aku belum menemukan artinya. Kabar baiknya Sinta, aku sekarang lebih rajin, mungkin berkat mantramu yang aku colong dari display picture akun BBM “Semangat Semangat Jangan Malas Jangan Malas” sepertinya itu menjadi mantra ajaib bagiku.
Tapi Sinta pujaanku,
    Aku harus mengakui jika solatku masih sering kutinggalkan. Apalagi subuhku, aku masih terlelap memimpikanmu. Heuheuheu kau menggodaku Sinta.
    Tapi jangan khawatir Sinta aku sudah membeli alarm dan langsung pergi ke Rumah Sakit supaya Dokter memasangkannya dihatiku. Mungkin dengan begitu malam-malam berikutnya kau hadir lagi menjelma dalam mimpi membangunkan aku. Hahahaha. Tapi aku tertidur lagi Sinta aku masih tergoda sejuk udara subuh. Hatiku blm benar-benar bersih Sinta.
    Aku ngerokok dulu ya Sinta, nanti aku lanjutkan lagi pesanku ini.
Heuheuheu
    Sudah sampai mana tadi Sinta? Oya sampai ibadah.
    Begini Sintaku, bukannya lagi-lagi aku tak menurutimu, tapi aku ingin hubunganku dengan Tuhan itu tidak karena dirimu. Aku ingin hubunganku dengan Tuhan karena diriku sendiri bukan karena siapa-siapa maaf Sinta bukan aku menyepelekan nasehatmu.
    Sinta udara dirumah baruku ini lumayan panas, ah. Aku jadi ingat waktu itu ketika udara sedang panas begini malah kamu ngirimin aku foto es kriim, aduuh, bahagia sekali rasanya.
    Sekarang di tangan kiriku juga sedang memegang secorong es krim mirip seperti foto yang kamu kirim itu, heuheuheu. Lidahku sesekali menjilatinya sedang tangan kananku asik menulis pesan ini.
    Sempatkanlah menikmati eskrim ditengah kesibukanmu mengurusi Negeri Para Bedebah itu. Nanti kapan-kapan kau temenin. Heuheuheu.
Sinta Rembulanku,
    Aku merasa hubungan kita semakin menjauh, aku sendiri yang merasakan itu Sinta, semenjak kejujuran itu.Aahh. Kamu marah karna aku nggak bias terima kejujuran itu, atau kamu sudah lelah menyakiti aku seperti yang pernah kau ungkapkan kepadaku? Aku tak pernah merasa disakiti Sinta. Aku hanya merasakan kedamaian bersamamu Sinta. Atau kamu sudah .... .


    Nb: Tulisan ini terinspirasi dari buku rahvayana karya mbah Sujiwo Tedjo. Rahwana yang tak henti-hentinya mengirimi surat kepada Sinta meski Sinta tak kunjung membalasnya, namun ia selalu menulis surat untuk Sinta. Aku pun begitu, aku tergugah untuk menciptakan Sintaku sendiri, dan mengiriminya surat meski sampai nanti ia kan selalu membisu. Jangan membalas lewat mega senja atau ciutan burung prenjak, karna aku tak memiliki Trijata yang akan mengartikannya semua. Tetaplah Kau membisu Ada yang Tiadaku.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment