Aku meladeni permintaan Zihan, tanpa ku
khawatirkan keadaan badanku yang terlalu ringkih jika terkena hujan. Ku laju
sepeda motorku. Sepeda motor warisan keluaran tahun lama, mereknya Honda buatan
1997, warna hitam dengan sedikit karat dibagian kenalpotnya: Astrea Grand.
Hujan masih saja labil, kadang menderas
sederas-derasnya, kadang tetiba mereda. Sama seperti labilnya perkataanku, atau
mungkin se-labil Zihan. Di kafe Zihan tampak sewot, sedangkan saat di parkiran
Ia begitu ramah bercakap-cakap kepadaku.
“Aku sebenernya enggak sesewot yang kau
pikirkan!” Sambut Zihan di bangku belakang sepeda motorku.
“Waduh, kok dia bisa tahu aku lagi
mikirin kesewotan dia,” batinku.
“Kok diam?” Tanyanya.
“Aku harus konsentrasi liat jalan,
hujannya main kroyokan, mataku pedih sampai enggak bisa lihat jalan ini!!!”
***
Aku tak tahu harus membawa Zihan kearah
mana, atau dalam bahasa Zihan, aku harus menyekapnya dimana. Dengan keadaan
basah tak mungkin kubawa dia ke taman cuma sekedar berindang-rindangan lagian
hari ini masih hujan. Apa lagi ku bawa dia ke bioskop, nonton film acak, pilih
film yang paling cepat dibuka pintu teaternya, pastilah diusir bapak satpam karena
akan merepotkan Cleaning Service
bagian pengepelan. Menyekap Zihan di kontrakan adalah pilihan paling tepat
sejauh ini.
“Apa kita sebaiknya berteduh dulu Jo?”
kata Zihan
“Nanggung, sebentar lagi kita sampai”
“Tapi badanmu udah mengggigil gitu!”
katanya khawatir, ku lihat raut wajahnya dari kaca spion kecil yang turut
membantuku dari tadi memperhatikan setiap perubahan mimik wajahnya.
“Udah biasa! Laki-laki! Strong!!!” ku tepuk-tepuk dadaku.
Laki-laki sok kuat itu biasa, Ayah
selalu mengingatkan jangan pernah kau buang sia-sia air matamu hanya untuk
sesuatu yang seolah-olah tak sanggup kau jalani. Ayah memang benar, seorang
laki-laki tak boleh menangis, tapi aku tak kan bisa seperti Ayah. Air mata
adalah bagian sakral baginya, tapi bagiku perasaan lebih tak bisa dibohongi.
Bisa saja air mata tidak terjatuh, tapi hati … ? Bagiku, jangan pernah
mangacaukan otak.
Aku tahu betul bagaimana rasa
kehilangan, meski kehilangan adalah hal yang mutlak harus terjadi. Bukankah
hidup ini hanya mendapatkan dan kehilangan? Jadi, aku tahu betul apa yang di
rasakan Zihan saat ini. Hingga aku rela menjadi seorang penculik dan berharap
Zihan mengalami Stockholm syndrome.
“Kita sudah sampai,” kataku, “buka-kan
gerbangnya!” Tanpa menjawab dia langsung membuka pintu gerbang.
“Ini kontrakanmu?” Tanyanya.
“Iya, aku bingung harus nyekapmu dimana,
mungkin disini tempat paling baik,” ku buka pintu. “Ayok masuk!” ajak-ku.
“Kamar mandi ada di belakang, masuk aja, enggak ada siapa-siapa dirumah ini …aku
ambil anduk dulu.”
Dia lari-lari kecil menuju kamar mandi
di belakang, “okay!”
***
Rumah ini hanya ada dua kamar, kamar
atas dan kamar bawah. Kamar atas aku khususkan untuk ruang kerjaku, ada
seperangkat komputer dan sebuah ranjang kecil yang sengaja aku sediakan untuk
berbaring jika sangat lelah untuk menulis atau sekedar main game.
Rumah ini sebenarnya bukan rumah milikku,
bukan karena kontrakan, tapi rumah ini milik sahabatku yang pergi keluar kota
untuk waktu lama. Ia meminjamkan rumahnya dengan suka rela tanpa mau aku bayar
sepeserpun, dan dia menyerahkan rumah ini sepenuhnya untukku, hingga aku bebas
mendekor rumah ini sesuka hatiku.
“Besar juga kontrakanmu,” puji Zihan
menghampiriku yang sudah ganti pakaian di ruang tengah.
“Ah kamu bisa aja”jawabku
“Iya beneran,” kepalanya menunduk,
tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Kemejanya nyamankan?” ku alihkan
pembicaraan.
“Iya nyaman kok.”
“Sorry di rumah ini enggak ada anak
perempuan, jadi aku enggak bisa kasi pinjam bra buatmu”
“Iya enggak apa-apa kok, aku udah biasa”
“Iya… aku yang enggak biasa!” Sahutku.
“Eh, biolaku mana?” mukanya panik.
“Udah aku taruh di kamar, makanya jangan
sembarang ninggalin barang” tegasku
Dia nyengir, “hehe, aku teledor suka
lupa.”
“Yasudah, aku mau istirahat, aku
istirahat di kamar atas saja, kamu di kamar bawah dan satu lagi ingat, jangan
berantakkan kamarku.” Kataku.
***
Entah apa yang aku pikirkan, aku terlalu
cepat baik kepada seseorang hari ini, sampai-sampai aku menginapkan seorang wanita di rumahku. Seorang
wanita yang baru aku kenal sore tadi di kafe. Tanpa aku berfikir bahwa
jangan-jangan dia adalah seorang perampok yang sedang berkedok menjadi orang
yang sedang bersedih, dan ketika aku terlelap tidur, dia menelepon komplotannya
untuk masuk kedalam rumahku, dan menghabisi aku. Seperti aku telah di racuni
kali ini oleh sepasang mata yang entah mengapa seperti menggairahkan rasa
hatiku.
Di kamar atas aku berbaring dan merenung
menatap langit-langit kamar. Ada sepasang mainan burung kertas bergelantungan
memutar disana. Aku jadi teringat kepada gadis anggun yang memasangkannya
disitu, ah aku malah memasuki lorong waktu dan terjatuh di masa lalu.
Sayup-sayup terdengar dari kamar atas,
seperti ada seseorang lagi menggesek senar-senar biola. Jelas sekali suaranya,
itu biola, bukan gitar. Siapa pula di rumah ini yang bisa memainkan biola?
Zihan…?
Tadi waktu di kafe terang-terangan dia
mengatakan ia tak bisa memainkannya, sampai-sampai ada binar-binar bening
dimatanya seperti menyesal karena tidak bisa memainkan biola. Tak mungkin dia. Mungkin
dia hanya memutar rekaman permainan kakaknya yang baru saja meninggal, lagian
di kamarku juga ada speaker yang bisa
mengeraskan suaranya sampai terdengar di kamar atas.
Tetapi, semakin lama semakin syahdu
iramanya, sampai aku tak sadar bahwa aku sedang mendengarkan lantunan biola,
aku semakin terhanyut merasuk lorong-lorong waktu masa lalu. Kenangan bersama
gadisku memang tak kunjung ingin ku sudahi keberadaanya, bukankah kenangan itu
ialah kerinduan? Kerinduan untuk mengulang kejadian masa lalu, masa lalu takkan
mungkin terulang, jika pun terulang ia tak kan sempurna seperti pada awalnya. Maka
ku pertahankan kenangan itu menjadi kerinduan, agar ia tetap sama.
Musiknya tiba-tiba macet, aku kembali
kemasa kini. Aku penasaran, siapa sebenarnya yang memainkan biola itu?
Ku turuni tangga untuk memeriksa
kamarku, “ini rekaman atau permainannya Zihan?” Batinku
Kubuka pintu, “kok berhenti main biolanya?”
Seolah aku lupa dengan pernyataannya sore tadi.
“Lain kali kalau masuk kamar itu ketuk
dulu pintunya,” katanya agak sengau, yang aku lihat ada cairan kental-kental
cair yang keluar dari dua lubang hidungnya.
“Iya, maaf” kataku, “katanya tadi kamu
enggak bisa mainin biola itu, katamu juga itu bukan biola kamu” sambungku nerocos, sudah ku tanggap basah dia
sedang bersandar bahu biola, apa lagi kalo tidak langsung skak matt pernyataan
dia sore tadi.
“Untuk apa aku harus mengaku kepadamu Jo
kalau aku bisa memainkannya? Aku sudah tahu jika kau tau aku pandai
memainkannya kau pasti ngeyel untuk
ku mainkan satu lagu untukmu, sore tadi aku lagi tidak ingin membantu
siapa-siapa!”
“Yaa Tuhan… apa-apaan ini?” Gerutuku.
“Apa untuk bisa memainkan sesuatu harus
menunggu untuk memiliki sesuatu itu?”
“Ya … tentu saja tidak” jawabku yang
lagi setengah jengkel.
“Jadi kenapa kau permasalahkan
kepemilikan biola ini?”
Aku terdiam…
ConversionConversion EmoticonEmoticon