Hujan Pertama

hasbee.wordpress.com


Harus ngomong apa aku sekarang? Ternyata nama yang terbordir di tas biola itu ialah nama kakaknya yang baru saja meninggal dunia. Bodoh sekali aku, memulai basa-basi yang salah barangkali. Sekarang aku harus bagaimana? Pergi, setelah membuat air matanya menetes? Atau tetap disini dalam  kebisuan?
Kopiku sudah tinggal setengah, itupun setengah dari setengahnya adalah bubuk kopi itu sendiri. Sama seperti cerita yang baru saja aku selesaikan. Setengah dari setengah isi ceritaku adalah kebenaran yang aku jalani dan selebihnya lagi adalah pengalaman pengembaraan pikiranku. Kemudian aku ramu menjadi seolah-olah benar-benar terjadi.
“Nona, hari sudah mendung, mungkin sebentar lagi hujan” cetusku sembari membereskan perlengkapanku.
“Jangan sok tahu kamu, mendung bukan berarti hujan,” matanya masih saja mengarah kedepan seolah ada yang disembunyikan. “emangnya kamu Tuhan?”
“Yasudah kalo begitu,” kesahku. “Aku memang bukan Tuhan Nona, aku cuma menduga jika mendung hari ini akan hujan, lihat saja anginnya lumayan kencangkan?”
Dia menoleh sebentar lalu membuang mukanya sekuat-kuatnya, seperti tak ingin ku pandang mata beloknya itu.
“Aku, duluan ya!” Aku pamitan. “Oh iya!” aku balik lagi, “aku minta maaf atas air mata tadi, dan satu lagi, tidak mungkin Tuhan mengirimku pesan BBM untuk memberi tahu jika hari ini akan hujan.”
***
Ternyata benar dugaanku, belum juga aku sampai di jalan poros menuju rumah kontrakan, masih di parkiran kafe hujan sudah turun. Hujan seolah menyuruhku tetap disini.
Tampias hujan membasahi rambutku, juga jaketku. Memang parkiran sepeda motornya tidaklah terlalu besar. Hanya ditutupi atap sepanjang sepeda motor itu, wajar jika hujan disertai angin, sepeda motor tetap basah juga sama seperti aku yang terjebak disini. Mungkin si pemilik kafe hanya menyelamatkan sepeda motor dari panas, aku menebak parkiran ini dibuat saat musim panas.
Hujan mulai reda, hanya meninggalkan rintik-rintik saja. Seperti gerimis, tapi tak pantas menyebutnya gerimis karna baru saja hujan. Gerimis setelah hujan. Hujannya sudah reda, tinggal gerimisnya sedikit. Benci setelah cinta. Cintanya sudah hilang, tinggal bencinya sedikit. Seharusnya bencinya sudah hilang, sekarang tinggal cintanya. Aku malah baper perkara hujan.
Masih bertahan di bawah atap parkiran. Belum nekat, karna badanku memang ringkih kalo sudah berurusan dengan hujan. Dari parkiran, kulihat Nona mata belok yang berambut ala-ala Korean Girl itu menuruni tangga keluar kafe. Dia berlari menepi ke parkiran. Hujan lebat lagi.
“Aku memang bukan Tuhan Nona! Tapi aku tahu kapan harus bergerak dan kapan harus tetap diam” Teriakku dari kejauhan.
“Kamu anak Tuhan atau anak dukun?” Dia mendekat.
“Hahaha. Cuma bercanda kok, aku enggak tahu apa-apa.”
“Kok belum pulang?” Tanyanya.
“Apa?” Tanyaku. “Suaramu kalah besar sama suara hujan!” Setengah teriak.
“Kamu kok belum pulang?” Balasnya.
“Aku nungguin kamu!” Godaku, “barang kali rumah kita searah, mungkin aku bisa menawarkan tumpangan”
“Bilang saja kamu takut hujan, sudah banyak laki-laki yang aku temui model-model kayak kamu Tuan!” jawabnya.
“Hehehe, iya nih, badanku terlalu ringkih kalau berurusan dengan hujan, maklumlah,” aku-ku “Eh, kok Tuan? Jo, sang….”
“Sang penulis terkenal di situs dewasa yang belum diblokir pemerintah!” Sambungnya.
Beda sekali dia saat ini. Lebih ramah dibanding diatas tadi. Ataukah memang seperti ini hakikatnya seorang perempuan? Mood-nya gampang berubah-ubah, tergantung situasi dan kondisi. Susah ditebak! Perempuan, bebas.
“Aku Zihan” Ia menjulurkan tangannya.
“Aku Jo,” ku sahut jabatan tangannya, “sang…”
“Stop! Jangan diteruskan.” Tandasnya.
***
Tiga puluh menit lebih kami terjebak di bawah atap parkiran ini, hujan belum reda. Tapi aku beruntung, pasalnya obrolan semakin merasuk. Tampiasan hujan juga sepertinya semakin bersahabat, atau setidaknya seperti taburan bunga-bunga saat pernikahan adat India.
“Jo, kenapa kita mesti takut hujan?” tanyan Zihan.
“Yaa! Sebenarnya bukan takut,” jawabku
“Terus kalo enggak takut,” kejarnya.
“Mungkin sekarang kita hanya sedang dibuat oleh Tuhan seolah-olah takut saja, cuma seolah-olah takut.”
“Maksudnya?” Penasaran.
“Maksudnya begini, bisa saja kita terobos hujan-hujan ini, masalah nanti sakit atau tidaknya karna hujan itu urusan belakang, yang pasti kita harus sampai  tujuan tepat seperti apa yang kia inginkan,” jelasku. “tapi sekrang ini kita dibuat seolah-olah takut, biar kita ketemu”
“Yaellah! Penjelasanmu enggak bermutu, bawa-bawa Tuhan lagi!”
“Hahaha. Apa bedanya aku dengan pejabat yang juga suka bawa-bawa nama Tuhan, tapi cuma topeng supaya dipilih?”
“Kok!” Dia menggeleng-geleng.
“Jadi kamu ngajak aku nerobos hujan-hujan ini?” Godaku.
“Kan kamu yang nawarin tadi,” matanya serius sekali menatapku, “aku pengen kamu culik aku, bawa aku kemana saja, di hujan pertama setelah kakak-ku meninggal aku ingin benar-benar melupakan kesedihan ini.”


Previous
Next Post »
Thanks for your comment