Harus ngomong apa aku sekarang? Ternyata nama yang
terbordir di tas biola itu ialah nama kakaknya yang baru saja meninggal dunia.
Bodoh sekali aku, memulai basa-basi yang salah barangkali. Sekarang aku harus
bagaimana? Pergi, setelah membuat air matanya menetes? Atau tetap disini
dalam kebisuan?
Kopiku sudah tinggal setengah, itupun setengah dari
setengahnya adalah bubuk kopi itu sendiri. Sama seperti cerita yang baru saja
aku selesaikan. Setengah dari setengah isi ceritaku adalah kebenaran yang aku
jalani dan selebihnya lagi adalah pengalaman pengembaraan pikiranku. Kemudian
aku ramu menjadi seolah-olah benar-benar terjadi.
“Nona, hari sudah mendung, mungkin sebentar lagi
hujan” cetusku sembari membereskan perlengkapanku.
“Jangan sok tahu kamu, mendung bukan berarti hujan,”
matanya masih saja mengarah kedepan seolah ada yang disembunyikan. “emangnya
kamu Tuhan?”
“Yasudah kalo begitu,” kesahku. “Aku memang bukan
Tuhan Nona, aku cuma menduga jika mendung hari ini akan hujan, lihat saja
anginnya lumayan kencangkan?”
Dia menoleh sebentar lalu membuang mukanya
sekuat-kuatnya, seperti tak ingin ku pandang mata beloknya itu.
“Aku, duluan ya!” Aku pamitan. “Oh iya!” aku balik
lagi, “aku minta maaf atas air mata tadi, dan satu lagi, tidak mungkin Tuhan
mengirimku pesan BBM untuk memberi tahu jika hari ini akan hujan.”
***
Ternyata benar dugaanku, belum juga aku sampai di
jalan poros menuju rumah kontrakan, masih di parkiran kafe hujan sudah turun.
Hujan seolah menyuruhku tetap disini.
Tampias hujan membasahi rambutku, juga jaketku. Memang
parkiran sepeda motornya tidaklah terlalu besar. Hanya ditutupi atap sepanjang sepeda
motor itu, wajar jika hujan disertai angin, sepeda motor tetap basah juga sama
seperti aku yang terjebak disini. Mungkin si pemilik kafe hanya menyelamatkan
sepeda motor dari panas, aku menebak parkiran ini dibuat saat musim panas.
Hujan mulai reda, hanya meninggalkan rintik-rintik
saja. Seperti gerimis, tapi tak pantas menyebutnya gerimis karna baru saja
hujan. Gerimis setelah hujan. Hujannya sudah reda, tinggal gerimisnya sedikit.
Benci setelah cinta. Cintanya sudah hilang, tinggal bencinya sedikit.
Seharusnya bencinya sudah hilang, sekarang tinggal cintanya. Aku malah baper perkara hujan.
Masih bertahan di bawah atap parkiran. Belum nekat,
karna badanku memang ringkih kalo sudah berurusan dengan hujan. Dari parkiran,
kulihat Nona mata belok yang berambut ala-ala Korean Girl itu menuruni tangga keluar kafe. Dia berlari menepi ke
parkiran. Hujan lebat lagi.
“Aku memang bukan Tuhan Nona! Tapi aku tahu kapan
harus bergerak dan kapan harus tetap diam” Teriakku dari kejauhan.
“Kamu anak Tuhan atau anak dukun?” Dia mendekat.
“Hahaha. Cuma bercanda kok, aku enggak tahu
apa-apa.”
“Kok belum pulang?” Tanyanya.
“Apa?” Tanyaku. “Suaramu kalah besar sama suara
hujan!” Setengah teriak.
“Kamu kok belum pulang?” Balasnya.
“Aku nungguin kamu!” Godaku, “barang kali rumah kita
searah, mungkin aku bisa menawarkan tumpangan”
“Bilang saja kamu takut hujan, sudah banyak
laki-laki yang aku temui model-model kayak kamu Tuan!” jawabnya.
“Hehehe, iya nih, badanku terlalu ringkih kalau
berurusan dengan hujan, maklumlah,” aku-ku “Eh, kok Tuan? Jo, sang….”
“Sang penulis terkenal di situs dewasa yang belum
diblokir pemerintah!” Sambungnya.
Beda sekali dia saat ini. Lebih ramah dibanding
diatas tadi. Ataukah memang seperti ini hakikatnya seorang perempuan? Mood-nya gampang berubah-ubah,
tergantung situasi dan kondisi. Susah ditebak! Perempuan, bebas.
“Aku Zihan” Ia menjulurkan tangannya.
“Aku Jo,” ku sahut jabatan tangannya, “sang…”
“Stop! Jangan diteruskan.” Tandasnya.
***
Tiga puluh menit lebih kami terjebak di bawah atap
parkiran ini, hujan belum reda. Tapi aku beruntung, pasalnya obrolan semakin
merasuk. Tampiasan hujan juga
sepertinya semakin bersahabat, atau setidaknya seperti taburan bunga-bunga saat
pernikahan adat India.
“Jo, kenapa kita mesti takut hujan?” tanyan Zihan.
“Yaa! Sebenarnya bukan takut,” jawabku
“Terus kalo enggak takut,” kejarnya.
“Mungkin sekarang kita hanya sedang dibuat oleh
Tuhan seolah-olah takut saja, cuma seolah-olah takut.”
“Maksudnya?” Penasaran.
“Maksudnya begini, bisa saja kita terobos
hujan-hujan ini, masalah nanti sakit atau tidaknya karna hujan itu urusan
belakang, yang pasti kita harus sampai
tujuan tepat seperti apa yang kia inginkan,” jelasku. “tapi sekrang ini
kita dibuat seolah-olah takut, biar kita ketemu”
“Yaellah! Penjelasanmu enggak bermutu, bawa-bawa
Tuhan lagi!”
“Hahaha. Apa bedanya aku dengan pejabat yang juga
suka bawa-bawa nama Tuhan, tapi cuma topeng supaya dipilih?”
“Kok!” Dia menggeleng-geleng.
“Jadi kamu ngajak aku nerobos hujan-hujan ini?”
Godaku.
“Kan kamu yang nawarin tadi,” matanya serius sekali
menatapku, “aku pengen kamu culik aku, bawa aku kemana saja, di hujan pertama
setelah kakak-ku meninggal aku ingin benar-benar melupakan kesedihan ini.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon