“Mainkan aku sebuah lagu yang bisa membuat hatiku
senang, aku ingin membuat bagian terakhir tulisanku menjadi terkesan dengan
iringan permainan biolamu.” Kataku, kepada gadis yang baru saja memesan
secangkir coffie latte kepada salah satu pramusaji yang menghampirinya.
Aku biasa menghabiskan waktu soreku di kafe ini,
kadang sekedar nongkrong atau menyambung tulisanku. Bagiku secangkir kopi bisa
melahirkan kata-kata yang indah, dan suasana sejuk senyap kafe ini bisa
melahirkan berjuta kegairahan dalam tulisan-tulisanku. Klok. Aduh penggemarku
suka sekali kegairahan kata-kata.
“Jangan diam saja nona,” “imajinasiku terganggu
dengan gesekan kursimu tadi sebelum kau duduk disitu, kau berhutang satu
padaku.”
“Jika ingin menulis, menulis saja jangan ganggu
kenyamanan orang lain, aku sedang menghayati kafe ini” jelasnya.
Aku bangkit, “ coffe latte, wow, pencari kenyamanan,
maaf jika aku tidak terlalu membuatmu nyaman, Nona!”
***
“Coffe latte, hemp, seharusnya kamu menjadi seorang
yang suka menolong, apa salahnya membuka biola itu dari sarungnya dan
menggesekkannya untukku, kali ini saja”
Dia masih diam saja, “pantas rambutmu kurang sisir,
dari yang aku pelajari, penikmat coffe latte selalu begitu, acak-acakan tak terlalu
memikirkan dirinya, selalu memikirkan kenyamanannya, aah sampai-sampai tidak
memikir..…”
“srek, srok,
sreeek, sroook” tanpa ku sadari dia telah mengangkat biolanya.
“Aku tak pandai memaikankannyaa!!!” Gerutunya.
Mata kami saling bertatap, “ku lanjutkan saja
tulisanku” batinku.
Aku menjadi canggung. Tatapan matanya kosong
mengarah kedepan, sambil memangku biolanya. Itu pun ku tahu dari
lirikan-lirikan khawatirku telah membuat orang tak nyaman berada di dekatku.
Entah berapa kali sudah mas-mas pencatat pesanan pengunjung kafe lewat seliweran di meja gadis itu, masih saja
matanya mendelik, kopinya
dibiarkannya mendingin bersama, entah kenyamanan atau keresahan.
***
Ku tutup laptopku. “Aku Jo, Jo penulis terkenal
disalah satu situs dewasa yang belum terblokir di negeri ini,” ku hampiri dia.
Dia masih diam saja, tatapannya masih kosong,
bedanya, kali ini matanya berkaca-kaca seperti ada air mata yang ingin
memberontak menetes, berserah nasib tertarik gravitasi.
“Alahay Nona jangan berdiam saja, ah” aku semakin
canggung. “Nia, Nia namamukan,” aku liat dari tulisan yang terbordir ditas
biolanya. “Minumlah kopimu, jangan biarkan panas kopimu dilahap sejuk udara
kafe ini, sayang sekali jika hangatnya kopi ini diseruput sejuknya angin, angin
yang menikmati hangatnya, sedang kau hanya menikmati manisnya saja”
“Manis saja tidak nikmat nona,” aku masih cerewet.
“jika manis di lengkapi dengan kehangatan akan lengkap rasanya.” “begini, jika
ada sepasang kekasih yang saling mencintai tetapi belum menghayati nikmatnya
kehangatan, jika belum saling bermandi keringat diatas ranjang yang sama, itu
belum ke puncak cinta namanya”
Masih sama, aku seperti berbicara kepada sebuah
patung cantik, berambut sebahu sedikit acak, kurang sisir sepertinya. Belok
dan lentik bulu matanya, jika aku
menilainya seperti gadis Korea, tapi pipimu kurang merah rasaku. Bibirmu juga
kurang seksi seukuran gadis Korea pikirku.
“Bisakah kau berhenti berkata-kata?” Kelopak matanya
menutup disusul dengan air matanya yang gugur tertelan gravitasi. “Nia,
bukanlah namaku, dia adalah kakak-ku, yang baru saja meninggalkanku tujuh hari
yang lalu, dan kopi ini adalah kopi kesukaan kami berdua,” ia berhenti sejenak.
“Aku kesini untuk mengenang kepergiannya.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon