Gadis Biola

khusnulfadhilah93.blogspot.com

“Mainkan aku sebuah lagu yang bisa membuat hatiku senang, aku ingin membuat bagian terakhir tulisanku menjadi terkesan dengan iringan permainan biolamu.” Kataku, kepada gadis yang baru saja memesan secangkir coffie latte kepada salah satu pramusaji yang menghampirinya.

Aku biasa menghabiskan waktu soreku di kafe ini, kadang sekedar nongkrong atau menyambung tulisanku. Bagiku secangkir kopi bisa melahirkan kata-kata yang indah, dan suasana sejuk senyap kafe ini bisa melahirkan berjuta kegairahan dalam tulisan-tulisanku. Klok. Aduh penggemarku suka sekali kegairahan kata-kata.

“Jangan diam saja nona,” “imajinasiku terganggu dengan gesekan kursimu tadi sebelum kau duduk disitu, kau berhutang satu padaku.”
“Jika ingin menulis, menulis saja jangan ganggu kenyamanan orang lain, aku sedang menghayati kafe ini” jelasnya.
Aku bangkit, “ coffe latte, wow, pencari kenyamanan, maaf jika aku tidak terlalu membuatmu nyaman, Nona!”
***
“Coffe latte, hemp, seharusnya kamu menjadi seorang yang suka menolong, apa salahnya membuka biola itu dari sarungnya dan menggesekkannya untukku, kali ini saja”

Dia masih diam saja, “pantas rambutmu kurang sisir, dari yang aku pelajari, penikmat coffe latte selalu begitu, acak-acakan tak terlalu memikirkan dirinya, selalu memikirkan kenyamanannya, aah sampai-sampai tidak memikir..…”
srek, srok, sreeek, sroook” tanpa ku sadari dia telah mengangkat biolanya.
Aku tak pandai memaikankannyaa!!!” Gerutunya.
Mata kami saling bertatap, “ku lanjutkan saja tulisanku” batinku.
Aku menjadi canggung. Tatapan matanya kosong mengarah kedepan, sambil memangku biolanya. Itu pun ku tahu dari lirikan-lirikan khawatirku telah membuat orang tak nyaman berada di dekatku. Entah berapa kali sudah mas-mas pencatat pesanan pengunjung kafe lewat seliweran di meja gadis itu, masih saja matanya mendelik, kopinya dibiarkannya mendingin bersama, entah kenyamanan atau  keresahan.

***
Ku tutup laptopku. “Aku Jo, Jo penulis terkenal disalah satu situs dewasa yang belum terblokir di negeri ini,” ku hampiri dia.
Dia masih diam saja, tatapannya masih kosong, bedanya, kali ini matanya berkaca-kaca seperti ada air mata yang ingin memberontak menetes, berserah nasib tertarik gravitasi.
“Alahay Nona jangan berdiam saja, ah” aku semakin canggung. “Nia, Nia namamukan,” aku liat dari tulisan yang terbordir ditas biolanya. “Minumlah kopimu, jangan biarkan panas kopimu dilahap sejuk udara kafe ini, sayang sekali jika hangatnya kopi ini diseruput sejuknya angin, angin yang menikmati hangatnya, sedang kau hanya menikmati manisnya saja”
“Manis saja tidak nikmat nona,” aku masih cerewet. “jika manis di lengkapi dengan kehangatan akan lengkap rasanya.” “begini, jika ada sepasang kekasih yang saling mencintai tetapi belum menghayati nikmatnya kehangatan, jika belum saling bermandi keringat diatas ranjang yang sama, itu belum ke puncak cinta namanya”
Masih sama, aku seperti berbicara kepada sebuah patung cantik, berambut sebahu sedikit acak, kurang sisir sepertinya. Belok dan  lentik bulu matanya, jika aku menilainya seperti gadis Korea, tapi pipimu kurang merah rasaku. Bibirmu juga kurang seksi seukuran gadis Korea pikirku.
“Bisakah kau berhenti berkata-kata?” Kelopak matanya menutup disusul dengan air matanya yang gugur tertelan gravitasi. “Nia, bukanlah namaku, dia adalah kakak-ku, yang baru saja meninggalkanku tujuh hari yang lalu, dan kopi ini adalah kopi kesukaan kami berdua,” ia berhenti sejenak. “Aku kesini untuk mengenang kepergiannya.”






Previous
Next Post »
Thanks for your comment