NEGERI
AWAN
Oleh : Dwy Susanto
Sudah hampir mati persendian kaki-kaki
ku melangkah menelusuri daratan
permasalahan tak berujung negeri ini, negeri para bedebah kata sahabat ku,
Negeri cermin surga kata orang-orang luar sana, negeri pusat peradaban dunia
kata para budayawan yang mencoba membesarkan hati saudara segaris keturunan
nenek moyang nya yang selalu di merasa terkucil di negeri sendiri.
***
Cerah sekali siang ini,
tak seperti
biasanya. “Hah, dimana aku ini?” sadarku.
Orang-orang
memandangi ku aneh, seperti orang asing bagi mereka, tetapi aku merasa
kehangatan dihatiku saat ku tatap mata mereka satu persatu. Aku terpaku
kebingungan, ingin berlari tapi hatiku menahan.
“Sungguh indah negeri ini, bangunan-bangunan
megah berdiri kokoh seakan berlomba menggapai langit, tampak dari kendaraan
mereka, teknologi begitu maju disini, negeri apa ini?” batinku.
“Ini Negeri Awan namanya nak!”
seseorang berkata dari belakangku.
Aku terkejut, ku toleh ke belakang,
ku pandangi orang tadi dari ujung rambut sampai bawah kaki nya, pakaian nya
begitu aneh, baju langsungan seperti daster warna abu-abu, kaki nya terbalut
sandal berikat belakang. Ia tersenyum melihatku.
“jangan takut nak, bapak bagian dari
kamu juga.”
“Bapak siapa ?” Tanyaku
“Saya Gio, ayo ikut saya !”
Aku mengangguk, dan mengikuti nya
berjalan. Aku masih bingung dengan apa yang semua terjadi, tapi hati ku yakin
dengan bapak tua yang menuntun ku ini.
“Nama kamu siapa nak ?” Tanya bapak
itu sambil terus menuntunku.
“saya Dwy pak, Dwy Susanto”
“Baik lah, setelah kita sampai saya
akan ceritakan semua tentang negeri ini.”
“Kita mau kemana pak ?” Tanya ku
penasaran.
“Nanti kamu bakal tahu, ikuti saja
saya!” Dia tak menjawab rasa penasaranku.
Kami menumpang kendaran yang super
aneh dan asing bagi ku, kendaraan nya seperti bajaj, bentuk nya kecil hanya
muat tiga orang, dua penumpang dan satu supir di depan, namun bukan seperti
bajaj di Jakarta yang ku lihat di televisi. Ini sangat berbeda, bajaj disini
terbang , ya terbang, setiap tarikan gas nya seperti menghenduskan uap yang
membuat melayang melawan grafitasi. Aneh sekali.
Di sela-sela bangunan-bangunan megah
kami melaju gesit, sesekali dibawah perutku serasa sedikit nyeri mak serr karna
jalur jalannya tiba-tiba turun drastis untuk melewati jembatan penghubung antar
bangunan. Kendaraan bajaj itu terus melaju hingga Kami tiba di sebuah pegunungan
hijau, tak tahu aku dimana ini, yang ku dengar pak Gio mengucapkan kata “Lakas
pak” ke supir bajaj aneh tadi.
“Kita sampai, santai saja,” Ucap
nya.
“he’uh,” Aku mengangguk.
Tanpa basa-basi pak Gio mulai bercerita.
“Pengunungan ini lah awal dari semua
cerita negeri ini, negeri yang memisahkan diri dari saudara-saudara segaris
nenek moyang nya. Pengunungan Lakas ini saksi bisu nya.”
Aku diam mengangguk angguk saja,
karena memang pikiran ku masih bingung dengan semua yang terjadi ini.
“Kita bersaudara Nak!” Pak Gio
melanjutkan cerita. “kala itu Raja yang sangat kami cintai dan kami sayangi
meninggal dunia, semenjak Raja Bijaksana itu meninggal keadaan Negeri itu
menjadi kacau, huru-hara dimana-mana, rakyat saling fitnah, para penguasa
berebut kekuasaan, rakyat mulai kelaparan, satu per satu dari mereka mati
kelaparan. Sekelompok dari kami memilih untuk pergi dan memisahkan diri dari
negeri itu, negeri itu adalah negeri kalian sekarang nak!”
Aku terkejut “bagaimana bapak bisa
yakin bahwa saya berasal dari negeri itu?” Tanyaku.
“hahaha, saat pertama kali bapak
melihat mu di keramaian tadi, bapak sudah tahu bahwa kau berasal dari negeri
itu, Indonesia namanya sekarang, jelas tergambar di kepalamu kamu berasal dari
Negeri itu, dan bapak yakin orang-orang yang melihat mu dengan aneh tadi juga
tahu kalau kamu berasal dari mana, mereka hanya terkejut bagaimana kamu bisa
datang kemari.”
“Canggih betul orang-orang
disini,”pikir ku.
“Mari ke rumah bapak, akan bapak
kenal kan dengan anak bapak, dia nanti akan mengajak mu keliling-keliling.”
Ajak nya.
“Heuh,” aku hanya mengangguk, aku
merasa malu dengan apa yang di lakukan orang-orang di negeri ku dulu.
Kami menumpang kendaraan aneh itu
lagi.
“Ini namanya MoPau, ini adalah
kendaraan untuk menuju ke pelosok-pelosok negeri ini, yang memang nggak bisa di
jangkau oleh MaCros, dan semua nya gratis, kita tinggal naik, sebutkan tempat
tujuan dan turun, tanpa membayar sedikitpun.”
“wow gratis pak ?”
“Iya gratis,” Pak Gio menegaskan
kembali.
“ouuh, kalo MaCros itu apa pak ?”.
“oiya, MaCros itu sejenis kereta
cepat, semacam kereta api, seperti nya di negeri kamu belum ada.”
“Loh kok tahu kereta api pak?”
“hahaha.” Pak Gio hanya tertawa
kecil.
***
Kami sampai di rumah nya, rumah Pak
Gio seperti di komplek-komplek perumahan di Indonesia pada umum nya, hanya saja
dalam segi bangunan komplek rumah di Indonesia sangat kalah jauh bagus nya di
banding disini. Bentuk nya aneh, tapi tak menghilangkan kesan megah, perpaduan
budaya setempat dan sedikit sentuhan corak kebaratan, disain yang sempurna
menurutku.
“Kita sampai nak, mari kita masuk.”
Pak Gio berdiri tegak di depan pintu gerbang, dan tiba-tiba Greeek pintu gerbang terbuka.
“Pintu gerbang ini akan terbuka jika
sensor mengenali orang yang ingin masuk,” Tambahnya.
“Loh, bukan kah negeri ini makmur,
rakyat nya saja di di fasilitasi secara lengkap, apa mungkin orang-orang disini
masih ada yang berprofesi sebagai maling dan perampok?” Tanyaku keheranan.
“Maling itu juga bagian dari siklus
kehidupan, jika tak ada orang jahat lalu apa gunanya tuhan menurunkan
kitab-kitab Nya melalaui nabi-nabi Nya, inti nya semua yang ada di dunia ini di
ciptakan berpasang-pasangan, ada laki-laki ada perempuan, ada siang ada malam,
dan ada yang baik dan ada pula yang buruk”.
“?%$@>?..” sungguh aneh pikir ku.
“Assalamualaikum, Ria Bapak pulang.”
“Aduuh apa lagi ini, kok Assalamualaikum, beragamakah orang-orang
disini?” Batinku.
“Walaikum salam.” Tampak seorang
gadis seumuran dengan ku berjalan keluar dan mencium tangan pak Gio. Dan di
melempar senyum pada ku.
Naluri lelaki ku muncul. senyumannya
jleep, masuk ke dasar hati, membuat
nya bergetar. Pakaian nya sopan sekali, padahal hanya di rumah, berbeda dengan
di Negeriku Indonesia, mereka siap meninggalkan jilbab dan pakaian tertutupnya
jika sudah di dalam rumah, dan tidak merasa risih jika ada tamu yang datang.
Ria memang berbeda dengan gadis-gadis di Indonesia. Jilbab nya juga tak sekedar
membalut, tetapi benar-benar menutup aurat, pakaian nya juga sopan tak ada benjolan
depan belakang kiri dan kanan. Aku yakin jika Ria ke Indonesia, lelaki yang
berprofesi sebagai maling plus perampok plus pengedar narkoba plus penjudi
ulung pun siap tobat demi mendapat kan gadis ini.
“Heh! kok malah ngalamun, ini
kenalin anak bapak,” Pak Gio mebuyarkan lamunanku.
“Ria,” Kata gadis itu, sambil
mengulurkan tangan nya.
“Dwy,” Jawabku, menjabat tangan nya.
“Loh, kok malah jabatan tangan.” Aku keceplosan karena tak biasa berjabat
tangan dengan gadis-gadis Indonesia yang berpakaian seperti Ria.
“Hehehe, tidak apa-apa, Ria yakin
Tuhan mengerti niat kita yang sebenarnya, dan tuhan pasti tahu jabatan tangan
tadi itu bukan lah karena nafsu tetapi untuk menyambung silaturahmi.”
“ini
yang ku cari,” Batin ku.
***
Sudah puas rasanya di jamu dirumah
ini, semua makanan istimewa di hidangkan di meja makan sewaktu makan malam
tadi. Tak banyak berbeda makanan disini dengan di Indonesia hampir-hampir sama.
Kamar ku juga sudah di siapkan untuk malam ini. seperti tidur di hotel bintang
lima rasanya segala fasilitas ada di kamar ini. Yang membuat ku terkejut adalah
saat melihat saluran-saluran televisi, ternyata disini kita dapat melihat
saluran-saluran Indonesia. Pantas saja pak Gio banyak tahu tentang Indonesia.
Semua ini membuat aku jadi bingung, sedang dimana sebenar nya aku ini.
***
Semburat cahaya matahari mulai
memenuhi ruangan kamar ini, ternyata gorden nya terbuka otomatis jika pagi
tiba. Aku bersiap, mandi dan memakai baju yang sudah disiapkan. Lalu turun
kebawah, memang kamar nya terletak di lantai dua.
“Ayo nak kita sarapan!” Sambut pak
Gio
“Mari pak,” Aku mulai menjaga gaya
bicaraku, terlalu baik rasanya keluarga ini kepada orang yang baru mereka kenal
seperti aku.
Kami menuju meja makan, makanan
terhidang rapi, kami sarapan sambil bincang bincang santai.
“Apa orang-orang disini beragama
juga pak?” tanyaku.
“Ya tentu saja Bergama Wy,” Ria
memotong “disini sama saja dengan di Negeri mu, ada Islam, Ada Kristen, Hindu
juga Budha, dan ada beberapa dari mereka tidak mengakui ada nya tuhan, dan ada
juga malah yang menuhankan cinta.”
“Tetapi yang perlu diingat nak ,
disini tak ada perang antar agama, mereka hidup rukun disini dengan keyakinan
mereka masing-masing.” Pak Gio menambahi.
“Waduh aku menanyakan pertanyaan
yang salah kayak nya ni, tapi ini memang hal yang wajib aku ketahui,” bantinku.
“Menuhankan cinta ?. Maksud nya
gimana itu Ria?”
“Ya menuhankan cinta, jadi mereka hidup
bebas dengan cinta, mereka percaya tuhan, tetapi mereka menuhankan cinta
mereka.”
“ouh, yaya aku ngerti!”
“Bagus kalau kamu ngerti.” Sahut
Ria, sambil menuangkan air putih ke gelasku untuk kedua kalinya.
***
Sesuai rencana aku diajak
keliling-keliling oleh Ria, daerah yang bakal aku kunjungi adalah Kutilen, kota
Kutilen adalah kota terbesar di negeri ini, jika di Indonesia, Kutilen ini lah
Jakarta-nya. Kebetulan aku terdampar nya di Kutilen dan bertemu dengan Pak Gio.
Sepanjang jalan Ria banyak bercerita
tentang Negeri dan Kota ini, banyak sekali perbedaan disini dengan di
Indonesia, Ria bercerita tentang orang-orang miskin di kota ini tinggal nya di
rumah susun, yang menurut ku itu bukan rumah susun, rumah yang menjulang tinggi
seperti Apartemen mewah di Jakarta. Tentang perbedaan Agama yang sangat
harmonis, tak pernah bermusuhan, semua hidup rukun dengan keimanan
masing-masing. Tentang Ibu mereka, Ibu memang sebutannya, adalah orang yang
paling mereka hormati disini, Ibu lah yang membuat Negeri ini dahulu nya,
tetapi dia bukan kepala negara yang mengatur pemerintahan, Ria saja susah
menjelaskan nya padaku, yang jelas dia hanya mengucapkan, dia biasa di panggil
Ibu.
Langkah ku terhenti di depan sebuah
gedung tinggi berlambang bunga mawar merah.
“Berhenti dulu” Pintaku.
“ada apa ?”. Pandangan Ria terus
menunduk.
“ini kan! Rumah ibadah orang-orang
yang menuhankan cinta mereka?”
“sudahlah, mari pergi dari sini.!”
“hahahaha.” Aku tertawa, mengejar
Ria yang berjalan lebih dulu.
Ria juga bercerita, tentang para
pejabat pemerintah Negeri Awan ini, yang selalu memperhatikan keadaan
rakyatnya. Semua fasilitas umum selalu tersedia gratis, jika rusak maka akan
segera diganti yang baru. Pendidikan juga tak ada perbedaan disini, baik yang
pintar dan yang bodoh, tetap berada di satu atap yang sama, bahu-membahu
membangun perkembangan otak mereka, dan semua di biayai negara mereka, mereka
tak membayar sedikit pun, begitu pula dengan pelayanan kesehatan, semua serba
gratis disini, tak peduli siapa yang sakit, kaya atau pun miskin, keselamatan
nyawa mereka lah yang mereka utamakan disini. Para anak yatim di pelihara oleh
negara, tanpa membedakan dari golongan mana mereka berasal, semua disamakan, yang
mereka tahu mereka berasal dari nenek moyang yang sama, dan mereka sama-sama
ciptaan dari Sang Pencipta.
Betapa senang nya hati orang-orang
yang tinggal disini. Bahkan mereka menghargai para pencuri sebagai bagian dari
hidup mereka, bukan orang yang hina bagi mereka.
***
Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan
bersinar tepat di hadapan ku, cahaya itu seakan terus menyedot ku, seakan
mengusir ku dari negeri indah ini.
“Ria, tolong aku Ria!” Teriakku. Ria
hanya berdiri tersenyum dan melambaikan tangannya tanpa melakukan apa-apa,
sementara cahaya ini terus menyedot ku.
“Riaaaaaaaaaaaaaa!” Teriakku lagi.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, dan berpaling dariku, dan melangkah pergi.
Tiba-tiba aku terbangun dari
tidurku, ku lihat bantalku, air liurku sudah membentuk pulau-pulau kecil yang
tak mungkin dapat ku lukis ulang gambar pulau-pulau itu.
Lalu aku sadar, Negeri Awan
hanyalah, Negeri yang terbentuk ketika air liur bercucuran tanpa sadar diatas
baringan ranjang empuk.
2 komentar
Click here for komentarAku udah terhanyut di awal, dan serasa benar-benar dijatuhkan dari awan pas di endingnya -___-
Replynggak berubah jadi kurus kan ay, hehehe makasih udah mampir
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon