Sintaku "Delapan"


Kekasih,
Masih dengan kabar yang sama, tak perlu kau tanyakan bagaimana kabarku dan sedang apa aku? Sudah pasti akan selalu ku-jawab, aku sedang dalam keadaan baik-baik saja, dan masih berada di tempat yang sama di bawah hamparan senja tak bercakrawala, disini masih merindukanmu.
Memang hanya aku yang selalu menanyakan kabarmu Sintaku, Meski ku mengerti hatimu, tak harus juga ku hanya berdiam untuk menanyakan hal-hal yang sepele. Orang-orang disini selalu terbiasa dengan basa-basi yang kadang memang tidak perlu, tapi Sintaku kau harus tahu, kalau basa-basi itu juga perlu untuk manusia terus berbicara dengan mulutnya.
Sintaku,
Aku baru saja nonton film bagus, nanti aku ceritakan!
***
Perihal usaha baruku aku baru saja kemalangan Sintaku, bagaimana tidak? Antena penyebar yang aku pasang di tower pembantu itu hilang, bukan hilang sebenernya. Aku tahu siapa yang mengambil dan untuk apa dia mengambil. Tapi biarlah Sintaku, aku tak mau memperpanjang masalah, kau juga dulu yang mengajarkan ku, "Kau harus ikhlas kehilangan sesuatu agar mendapat sesuatu yang lebih besar" kau mengatakannya waktu es krim ku terjatuh saat kita duduk di Taman itu Sintaku, Kau ingat? Ah mungkin kau sudah lupa.
Oh Sintaku,
Aku sampai lupa memberi tahu mu tentang usaha baru ku waktu itu, di suratku yang kemarin. Aku harus terburu-buru karna ada pelanggan yang komplein, maaf Sintaku aku harus menyudahi suratku waktu itu.
Pelanggan memang begitu Sintaku, selalu ada tuntutan, tapi ketika kita menuntut mereka pasti mereka akan mengeluarkan jurus ular lipat delapan, kau tau jurus ular lipat delapan Sintaku? kapan-kapan aku jelaskan tentang itu.
Senjaku,
Membangun jaringan telekomunikasi memang tidak mudah, bukanya aku juga sudah bersusah payah membangun komunikasi bersamamu hasilnya juga hingga kini kau tak kunjung terhubung denganku, atau mungkin terhubung tapi tak kunjung kau meresponnya. Seperti surat-suratku ini mungkin kau sudah membacanya dan ingin sekali membalasnya tapi tak tahu kau harus mengirimnya kemana, La wong surat-suratku juga tak ku alamati.
Yang harus kau tahu Sintaku, usahaku ini tak hanya memikirkan keuntunganku saja. Kau tahu aku selalu mengutamakan pelayanan ke pelanggan-pelangganku meski aku harus merugi, konyol memang tapi kau harus tahu juga Sintaku, misiku adalah mencerdaskan mereka dalam menggunakan media telekomunikasi.
Tapi aku akhir-akhir ini mulai malas menanggapi komplein gangguan dari mereka, ini juga karna nasehatmu dulu Sintaku "Kalau sedang berjuang, jangan hanya memikirkan orang lain, pikirkanlah keadaanmu juga, jangan sampai tidurmu kurang, makanmu tak lahap karna terus memikirkan mereka, berjuang juga ada takarannya, kau harus mengerti itu" Kau terus ngomel­ waktu itu memarahiku yang lupa waktu. Kau pasti masih ingat itu, aku cuma diam saja, lantaran mulutmu terus komat-kamit membacakan mantra-mantra nasehat untukku. Aku tahu sekali, kalau kau sedang marah, memang tak ada yang boleh menghentikanmu bisa-bisa semakin membara marahmu.
Kau tahu Sintaku,
Pada hamparan langit yang tak bertepi aku selalu menitipkan rindu padanya. Entah sampai kapan titipan-titipan rindu itu akan sampai padamu, kuharap secepatnya.
Pada langit yang sama itu, selalu memperlihatkan sesuatu yang baru setiap harinya, atau bahkan setiap detiknya. Senja-senjanya juga selalu baru dan terbaru, kapan aku akan menemukan senja yang sama persis saat kita habiskan terang bersama dulu itu?
Biarkan aku menjawabannya, mungkin takkan pernah ku temukan, tapi aku juga tak akan melupakannya. Senyum bergaris cakrawala, menghidupkan burung-burung yang kan terbang menuju pulang, aku takkan melupakan bibir indahmu sore-sore itu.
Kau harus tahu Sintaku, aku sedang rindu.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment