Sintaku,
Diakhir suratku yang
terakhir ku sampaikan penyesalanku karna aku ingin berhenti mengirimu surat.
Sungguh aku minta maaf tentang itu, bukankah ada kalanya seseorang itu harus
berhenti sejenak untuk melangkah lebih jauh? Itu yang kulakukan Sintaku, tapi
aku salah menyampaikannya kepadamu.
Aku
harap kau dapat mengerti keadaanku waktu itu, saat awan dan ombak membuka semua
tentangmu sungguh aku rapuh, aku tak berdaya Sintaku, tapi percayalah keadaan
itu tak begitu lama ku lalui. Beberapa saat kemudian aku duduk kembali dimeja
tulisku untuk menulis surat-suratku kepadamu untuk tidak pernah kau balas.
Kekasih,
Bukankah berharap
adalah doa yang paling egois? Bukankah ketika aku berharap kepadamu aku sedang
memaksakan kehendakmu? Itu sebabnya aku sudah lama berhenti berharap kepadamu
Sintaku. Aku tak mau menjadi orang yang egois yang memaksa kau melakukan
harapanku. Bukannya kau susah untuk dipaksa.
Aku
teringan waktu itu, saat teman-temanmu berencana untuk menurunkan rektor
kampusmu hanya karena salah berbicara saat diwawancarai media. Kau dengan tegas menyampaikan pandanganmu
yang sangat berbeda dengan teman-temanmu, sungguh keberanian yang harus aku acungi dua jempol. Tapi sayang Sintaku,
keberanianmu tak menghasilkan apa-apa teman-temanmu tetap ngotot dengan
pandangannya. Tapi aku sudah biasa dengan orang-orang seperti itu Sintaku, jadi
aku tak terkejut saat kau menceritakannya kepadaku. La wong pergaulanku aja sudah sampe ke golongan manusia bawah tanah
kok, hehehe.
Sintaku,
Aku berfikir di Negerimu
sana kau sangat sibuk sekali.
Oya
dengar-dengar sudah kau rubah penampilanmu, ah, makin cantik pasti kau dengan
gaya dandanan barumu Sintaku. Aku sungguh rindu, kapan kita akan bertemu lagi?
Aku tak peduli meski pertemuan kita tak dulu di jadwalkan, seperti di mini bus
itu, aku juga tak peduli jika kau tak berbicara kepadaku, aku sudah belajar
tentang mengerti hatimu.
Dulu
Sintaku, saat kau bisikan “senja bersamaku” di telinga sebelah kananku aku
berfikir kau selalu dibawah senja, dan bermandi megah jingga. Aku baru sadar,
ternyata aku salah tentang itu, ternyata yang kau maksud adalah ketika aku
bersama senja ketika itu pula aku bersamamu, bukankah begitu? Maaf kalo aku
salah menafsirkan bisikanmu itu. Tafsiranku memang sering berbeda dengan kebanyakan
orang.
Sintaku,
Maaf jika dalam
suratku ini kau menunggu-nunggu cerita tentang Lek Tho, aku beritahu aku sedang
hilang mood untuk cerita tentang Lek
Tho. Kau pasti tahu alasannya Sintaku. Aku juga tidak akan menceritakan tentang
temuan-temuanku saat mencari balasan surat-surat darimu. Senja sedang tak bersahabat
denganku, awan juga begitu. Mereka diam-diam mengomel tentangku. Iya, mereka
asik mengomel tentang aku yang terus membaca balasan surat darimu, padahal kau
juga tak membalasnya. Mereka membodoh-bodohkan komat-kamit mulutku, “tak ada
surat kok dibaca,” setiap senja melontarkan kalimat itu awan pasti ketawa
cekikikan mendengar ocehan remeh itu.
Aku
gak bisa melawan Sintaku, sama saat dulu waktu kau ku bonceng lalu memintaku
untuk menurunkanmu ditengah jalan, aku tak bisa melawan karna itu mau-mu. Saat
kau ku tinggal kau malah marah-marah padaku, aku bisa apa? Aku hanya menuruti
kemauanmu dulu.
Ah,
Sudahlah
lupakan saja tentang itu, aku tahu kau hanya sedang ingin diperhatikan waktu
itu. Aku tahu tapi aku pura-pura tidak tahu saja, makanya saat kau marah-marah
aku nikmati saja ocehanmu. Toh, aku juga gak bisa ngelawan aku tahu benar isi
kepalamu. Hehehe.
Senjaku,
Kau
harus tau, aku sedang menjalankan bisnis baruku.
Oh,
sudah dulu ya Sintaku ada pelanggan yang memangilku aku harus segera pergi.
ConversionConversion EmoticonEmoticon