Dengan gaji yang pas-pasan
sebagai buruh kasar bangunan, setiap malam minggu Pa’e selalu mengajak kami
menikmati sepiring sate padang di pinggir alun-alun Kota Subulussalam, Lapangan
Beringin.
Biasanya kami berangkat sehabis
shalat isya, dan kami hanya bertiga saja aku, abang pertamaku dan Pa’e. Ma’e
selalu tinggal dirumah, mungkin karena kendaraan kami hanya sebuah motor Astrea
Prima yang panjang bangkunya tidak cukup untuk ditumpangi satu keluarga.
“Kae Pa’e wes ngelap sandal”
sepertinya Ma’e sudah hafal jika Pa’e ngelap sandalnya pasti akan mengajak kami
keluar.
“Ayok Ko!” Teriakku. Memang aku
hampir tak pernah memanggil abang ku dengan sebutan abang, mas, atau kakak,
dengan enak saja aku pasti memanggilnya dengan nama, berkali-kali sudah
diperingatkan tetapi tetap saja tidak terbiasa. Mungkin karena selisih umur
kami yang tidak terlalu jauh.
“Ayok!” Jawab Eko.
Tanpa basa-basi Pa’e langsung
saja mengengkol motornya, dan kami langsung naik saja di bangku belakang.
Begitula Pa’e hingga sekarang aku
duduk dibangku kelas 4 Sekolah Dasar masih saja tidak banyak bicara, Pa’e seperti
seseorang yang sangat misterius dengan tatapan mata tajamnya.
“Sate bang?” Tanya bang Yan
penjual sate.
“Iya Yan, kasi buat anak-anak
ini. Aku bandrek susu aja”
“Okay bang!” Jawabnya menanggapi
pesanan Pa’e.
Aku duduk di tengah diantara Eko
abang pertamaku dan Pa’e. Dibangku panjang itu Pa’e disebelah kiriku, dan Eko
di sebelah kananku, sebelah kiri Pa’e ada seorang bapak-bapak tengah asik
ngobrol dengan rekan-rekannya yang menghap kearah kami. Yang kutanggap dari
lirikan mata mereka, sepertinya mereka ingin mengajak Pa’e ngobrol mengikuti
pembicaraan mereka. Tapi tetap saja Pa’e bungkam, tak satupun obrolan yang
ditanggapi Pa’e. Paling-paling Pa’e hanya ikut tersenyum ketika para
bapak-bapak itu tertawa bersama.
“Ko, bagi satemu!” pintaku,
“Janganlah!”
“Masak punyaku cuma lima tusuk,
punya bapak depan itu 10 tusuknya!” kataku rewel.
“Husst! Orang itu pesannya satu
porsi, punya kita ini satu porsi bagi dua” jelas Eko.
Ah, aku baru sadar, berarti
ketika Pa’e berdiri menemui Bang Yan penjual sate di depan gerobaknya tadi
ternyata untuk menginstruksikan supaya sate kami satu porsi dibagi dua saja.
“Udah kenyang?” Tanya Pa’e
“Udah Pak”
“Yaudah, ayok pulang! Berapa
Yan?”
“Lima ribu aja Bang, bayar
bandreknya aja, sate anak-anak Iyan kasi gratis” Jawab Bang Yan.
“Wah kok gitu?”
“Iya indak apo-apo Bang, lahap
bana mereka makan, suka Iyan liatnya"
“Terimakasih lah kalo begitu
Yan,”
“Iya Bang samo-samo,” Bang Yan
menatap kami, “rajin-rajin belajar ya Wik, Ko!”
“Iya Bang!” jawab kami serentak
“malam minggu depan kamari lagi
ya!” tutupnya.
Rezeki memang takkan pergi
kemana-mana, meski kemarin gaji Pa’e harus dihadang hujan, malam ini kami bisa
makan sate gratis meski hanya setengah porsi. Memang jika hujan datang, Pa’e
dan rekan-rekannya yang lain harus berhenti bekerja. Jika hujan sedari pagi
maka Pa’e tidak pergi bekerja paling hanya minum kopi dirumah, jika hujan
datang di siang hari, maka Pa’e harus cepat pulang, dan gaji bekerja hanya
dihitung setengah hari, meski hujan datang pukul empat sore.
Ini lah nasib seorang buruh kasar
bangunan seperti Pa’e, harus rela kulitnya gosong terbakar matahari untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami keluarganya. Tidak ada pilihan pekerjaan lain
untuk Pa’e yang hanya mengenyam bangku sekolah sampai kelas lima sekolah dasar
selain sebagai buruh kasar bangunan. Bekerja sebagai penarik becak motor Ia
tidak berani. Apa lagi yang bisa Ia lakukan untuk melihat kami terus hidup
tanpa kelaparan sedikitpun kalau tidak dengan membiarkan kulitnya terbanggang
matahari.
Kadang aku melihat Pa’e duduk
dipintu belakang mengatur nafasnya perlahan setelah pulang bekerja, sembari
menggesek-gesekkan badannya ke tiang kusen, mungkin untuk menghilangkan gatal
atau untuk sedikit menghilangkan pegal-pegal sehabis seharian bekerja.
Tak jarang juga Pa’e memintaku
untuk menginjak-injak punggungnya, itu pun setelah Ma’e memintaku.
“Mak, nyet-nyet kene ki nopo!”
Pinta Pa’e sambil memijit-mijit sendiri punggungnya.
“Mbok kongkon anak-anakmu kae
to!”
“Wik, Wik injak-injak Pa’e dulu
sini!” Baru lah Pa’e memintaku untuk memberi seikit kusukan dengan
menginjak-injak punggungnya. Kadang permintaan Pa’e menambah sampai telapak
kaki, jika ketika menarik jari-jari kaki Pa’e tidak menghasilkan bunyi, maka
Pa’e meminta untuk menambah pijatan lagi dibagian paha dan lutut belakang.
Jika aku sedang malas, Pa’e tak
pernah marah jika aku hanya memberikan sedikit pijatan saja, paling hanya
sindiran kecil yang terucap.
“Kalo makan sate mau, disuruh
mijitin cuma bentar aja, besok nggak Pa’e ajak lagi lah makan sate!” Ancamnya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon