Sintaku “Enam”

Sintaku “Enam”


Lama tak berkabar setelah dusta senja yang kau kirimkan, setelah pengharapanku ku benamkan, ternyata kau baik-baik saja, hanya saja pipimu agak mengempis sedikit. Barang kali kau lupa untuk tertidur, aku maklum karna urusan rakyat yang kau urusi tidaklah sedikit Sintaku. Aku juga paham tentang botol itu…

Lek Tho, baru saja aku menemuinya lagi, ia semakin kondang Sintaku. Mungkin jurus bohongnya mampu mengelabuhi orang-orang yang ingin mengetahui nasibnya. Kurang ajar Lek Tho, ia tega mengelabuhi mereka. Bayangkan saja Sintaku, ia tak segan-segan memasang tarif yang super tinggi hanya untuk cerita bualannya. Mudah sekali.

Sintaku,
Suratku kali ini hanya menceritakan tentang pertemuan kita di mini bus waktu itu, jika melebar nantinya maafkan aku, mungkin bara api yang menghasilkan kepulan asap dimulutku sudah habis, hehehe.

Aku tak meyangka, untuk blusukan demi menemui rakyat-rakyat yang kau wakili kau rela menumpang mini bus agar menghemat biaya. Syukurnya lagi aku berada didalam mini bus itu. Entah sengaja atau tidak, tapi itu lah yang terjadi.

Mawarku,
Lebih 6 jam kita dalam satu tumpangan yang sama, tak ada kata yang terucap dari bibirmu, kau malu atau marah padaku? Atau barang kali karna posisi duduk mu yang membelakangi aku jadi susah untuk mengobrol denganku yang sudah lama kita tak mengobral obrolan?
Oya deng aku ingat, kita ada bercerita beberapa hal, saat mobil tumpangan mengistirahatkan penumpangnya untuk makan. Maaf Sintaku, ingatanku akhir-akhir ini suka tidak pas, barang kali aku mencoba melupakanmu tapi malah semua hal termasuk bukan tentangmu ikut terlupakan. Meskinya aku tak berdoa untuk menghilangkan ingatanku. Aku salah!

Sintaku,
Kau juga tak menyinggung tentang botol itu, atau benar apa yang aku diskusikan dulu? Sebentar aku hidupkan dulu lagu untuk menuntaskan surat rindu ini, Sintaku.

***

Sudah sampai mana tadi Sintaku? Oh ya sampai botol. Sudahlah lupakan saja tentang botol itu. Mending ingat-ingat saja tentang kita menumpang becak yang kau hanya diam saja, hehehe, malah-malah kau yang membayarkan ongkosku, Sintaku.

Aduh, bukan aku merepotkan, hanya aku tak terbiasa menolak pemberian orang, apa lagi dari kamu. Sebagai laki-laki memang tak layak, tapi aku sadar recehan di dompetku juga sudah tak bergemereceh. Maaf kalo aku merepotkanmu Sintaku, eh, apa kamu bergumam ya tentang ongkos itu?

Pertemuan yang lebih singkat dari isi surat-suratku padamu itu Sintaku aku ceritakan pada Lek Tho saat aku soan ke padepokannya.

Sudah ku omongkan tadi Sintaku,
Ini berbeda, Lek Tho bukan buka padepokan menggandakan uang atau padepokan menikmat asap kenikmatan, ini tentang kebohongan. Aku malah salut dengannya Sintaku, meskipun aku pernah dibohongi tetapi aku malah bersyukur karna dia pernah membohongiku. Bagaimana tidak Sintaku? Karna Lek Tho berbohong maka aku jadi mengerti, bagaimana jika Lek Tho tidak berbohong? Sungguh aku tak akan mengerti bercengkrama dengan awan, dan ombak.
Sintaku,

Ku undang kau sesekali untuk main kemari, ke padepokan Lek Tho, bukannya dulu pernah aku tuliskan dalam suratku, “belajarlah dengan Lek Tho, barang kali kau akan lebih mahir dibanding aku.” Ah apa iya kau membaca surat-suratku yang lalu-lalu?

Oya, jika kau sudah datang kemari dan mengerti, jangan sesekali kau ungkapkan kepada orang-orang tentang tipu muslihat Lek Tho. Bisa-bisa kau yang dicaci-maki mereka. Orang-orang yang berkunjung kemari dan membayar ocehan Lek Tho, terlalu fanatik, lagian jika kau ceritakan kebenarannya malah-malah kau menghalangi rezeki orang.

Memang ini salah Sintaku, tapi bukankah ada kalanya kita membiarkan kesalahan itu terus ada untuk kebaikan. Maaf lo Sintaku, lagi-lagi bukan aku menggurui, aku percaya kau lebih tau banyak ketimbang aku, tapi apa salahnya aku menyampaikan pendapatku.

Oh Sintaku,
Maaf jika suratku kali ini terkesan memaksa, tadinya aku hanya mencoba bernostalgia tentang pertemuan singkat yang lebih singkat dari isi surat-suratku padamu Sintaku, tapi pasti kau mengerti aku, jika sudah bercerita maka semua akan menyambung, sampai aku lupa aku pernah menyerah mencari balasan surat-suratmu.

Sejak pertemuan itu Sintaku,

Aku mengerti, pencarian tak harus dihentikan hanya karena aku lelah dan kecewa tak kunjung menemukan, maka aku tulis lagi surat-suratku untukmu dan akan ku cari terus balasan-balasan suratku darimu, dan terhitung ini surat ke enam yang ku kirimkan untukmu, Sintaku.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment