“Seharusnya kamu mulai berfikir untuk pindah dari
tempat seperti ini Han,”
“Ini tempat paling nyaman yang aku rasakan, aku
sudah terbiasa Res!”
“Lalu kenapa kamu tidak kunjung terbiasa tanpa aku?”
Timpal mu.
***
Tanganmu sibuk membenahi dress putih yang kau pakai,
angin mengangkat-angkat seakan ingin mengintip isi dalammu. Hujan membentuk
lekuk badanmu. Mulus memang. Aku intip disela-sela gelap waktu kau berlari
menghampiri rumahku.
“Anduk mana, mana anduk?” Kau nyelonong saja
“Tumben malam-malam datang” tanyaku sembari ku
ambilkan kau handuk.
“Iya mumpung aku lewat daerah sini, yasudah mampir
sekalian ketempat kamu, pikirku!”
“Mumpung mampir atau sedang bermasalah dengan
suamimu?”
“Aku numpang tidur disini ya!” Pintamu.
Beberapa waktu belakangan ini kau kerap datang
berkunjung menemuiku, kemarin juga kau sudah bercerita tentang permasalahan
rumah tanggamu. Mungkin malam ini kau cek-cok lagi dengan suamimu. Pantas saja
jika pertanyaanku tak kau jawab.
Suamimu, dia memang temanku, sebelum kau menikah
dengannya sudah ku peringatkan tentang bagaimana sifat dia sebenarnya. Waktu itu,
bukan karena aku ingin merebutmu dari dia, tapi…
Kau bilang kau sangat mencintainya, apapun yang
terjadi dibelakangnya tak akan pernah kau pedulikan, baik, buruk akan kau
terima. Sekarang, kau mengeluh dengan semua yang telah terjadi, suamimu main
dengan perempuan lain,! dan kau menyalahkanku, menyalahkan kenapa aku tidak
mengungkapkan perasaanku sebelum kau
menikah dengannya. Aku hanya ingin kau bahagia dengan pilihanmu.
“Kenapa baru sekarang kau mengungkapkannya Han? Kenapa
baru sekarang setelah aku pakai baju pengantin ini?” itu katamu dulu, seusai
ijab kabulmu.
Waktu itu aku langsung berlalu, tak tahan rasanya
melihat orang-orang memberi ucapan selamat kepada Suami sah-mu karena telah
mendapatkan dirimu. Bukan tentang pelukan hangat diwaktu malammu, mungkin aku
lebih dulu mendapatkannya daripada suami sah-mu, namun tentang senyuman pagi
yang kau berikan sewaktu kau akan membuka tenda kemah kita dulu. Aku selalu
berhayal, kau akan tersenyum didepan tempat tidurku dengan membawa segelas susu
putih, lalu kau membangunkanku. Aahh.
***
“Beramtem lagi?” Tanyaku
“Enggak Ah,” jawabmu
“Yang benar?”
“Iya!”
“Yasudah, aku tinggal marung dulu ya, ngopi
sepertinya nikmat hujan-hujan begini”
“Yaudah, aku cerita, disini saja, temani aku,”
sautmu, “tunggu! Aku buatkan kopi dulu.”
“Yasudah!” mungkin kau sudah terbiasa dengan cara
ngambek-ku.
“Iya Han, dia main perempuan lagi!” Katamu, sambil
meletakkan kopiku.
“Ouh, terus aku harus gimana ?” Bosan rasanya aku
harus mendengar curhatanmu yang begitu-begitu saja.
“Kamu enggak asik Han!”
“Nikmati saja lah, itu sudah jalan pilihanmu,
bagaimanapun itu sudah terjadi, dan kau harus tetap menghadapinya Res,”
“Handoko!!!” Teriakmu.
“Apa? Kenapa?” lembutku.
“Ini semua salahmu! Aku terlalu lama mengungu,
menunggu jawaban dari perasaanku,”
“Maksudmu?”
“Kenapa setelah ijab kabul kau nyatakan perasaanmu? Setelah
aku memakai baju pengantin, dan memakai cincin pemberian suami berengsek itu,
kenapa?” Aku semakin bingung dengan omelanmu malam ini.
“Wanita butuh kepastian, bukan hanya perhatian,!
Tangismu.
“Aku mengerti, jadi, setelah kau lahirkan kedua
putramu itu, dan merasa jenuh dengan suamimu, lalu kau datang padaku,
menyalahkanku, memojokkanku, seolah-olah aku yang paling bersalah dengan semua
ini, bukankah kau yang mengatakan, kau cinta dia, kau sayang dia, kau ingin
hidup dengannya, sementara aku, kau bilang aku hanya kau anggap sebagai
temanmu, sahabatmu! Kenapa bukan aku saja yang kau anggap sebagai cinta matimu
itu !” Kopi tumpah, malam senyap ………….
ConversionConversion EmoticonEmoticon