Terimakasih
awan, terimakasih ombak, terimakasih alam yang telah membantu aku selama ini,
terlebih kepada Lek Tho, tak tahu harus ku buang kemana lagi mukaku ini jika
bertemu dengannya. Semua nasehatnya ku acuhkan, tentang balasan suratmu juga
sebenarnya tidak adakan Sintaku? Lek Tho hanya mengarang saja, supaya aku
berhenti dalam kegalauan ini. Tidak, tidak Sintaku, malah kegalauanku semakin
bertambah ketika Lek Tho mengajarkan ilmunya kepadaku, aku tahu semuanya!
Kali
ini awan tidak mungkin seperti Lek Tho yang sanggup berbohong hanya agar, aku
berhenti dari kegalauanku, dia menceritakan semuanya. Perihal anak-anak kecil
yang mengantarkanmu botol itu, sudah kau terima dengan amat baik, botol
kirimanku sudah kau terima, dan kau beri anak-anak kecil itu sebungkus permen,
mereka pulang, senang kegirangan.
Bagaimana
dengan botolku sekarang, sudahkah kau mengintipnya dengan sebelah mata kirimu? Atau
setelah kau terima langsung kau campakkan botol itu ke dalam tong sampah,
peristiwa itu yang tak diceritakan awan kepadaku sore tadi.
Sintaku,
Sudah
saatnya mungkin ku sudahi pengembaraan ku ini untuk mencari balasan-balasan
suratmu disetiap sudut cakrawala senja. Mungkin cerita senja hanya akan
menenggelamkanku dalam samudera kegelapan. Kusudahi semuanya. Rindu-rinduku
akan ku kubur bersama kenangan yang pernah kita ciptakan.
Kau
bilang, “cinta tak akan menuntut, rindu akan padam ketika kau mengenangnya.” Itu
katamu di akhir pertemuan kita. “Cinta bukan hanya tentang memiliki, tapi cinta
juga tentang merelakan,” itu katamu, disaat kau tahu aku pernah memperistri
wanita lain sebelum kau hadir dihadapanku. Sekarang, aku terbunuh oleh kata-katamu,
ulu hatiku kau tusuk perlahan dengan kepergianmu, hatiku gemerlap ketika kau
kirimkan dusta senja disudut cakrawala, kini padam. Aku mati dalam kesenangan
dusta.
Sintaku,
Dalam
bisikan halusmu kau bergumam, “untuk apalah kau menunggu, jika orang yang kau
tunggu tidak ingin kau menunggu.” “Sudahi
penantianmu, carilah wanita lain yang lebih baik dari diriku,” itulah penolakan
halusmu. Karna kecintaanku padamu, aku selalu menjawab “aku akan tetap menunggu
sampai kapan-pun!”
Aku
memang tercipta sebagai Rahwana, ditakdirkan mencintai tanpa dicintai,
menyayangi tanpa dikasihi, dan menunggu tanpa ditunggu. Aku tegar dalam
hidupku, berkelana mencari senja berharap kau membalas surat-suratku, dan
sampai sekarang aku belum pernah mendapatkan satu balasanpun darimu, yang ku
dapat hanya senja dusta seolah milikmu yang disampaikan Lek Tho kepadaku.
Ombak
bersorak, awan menangis tersendu mendukungku, setelah aku tahu kau bersekongkol
dengan Lek Tho, kau umpan dia sebagai pemisah aku dan kau. Kau ingin putuskan
pengharapanku, karena kau telah menemukan seseorang yang membuat senjamu lebih
indah dari senja-senja kita. Aku tersinggung.
Mungkin
dia Rama, lelaki yang kau gumam dalam bisik halusmu Mr. R. Dengar! Kau terkecoh
Sintaku, hanya saja karena kebersamaan lantas kau sebut itu indah, bisakah ia
setegar aku, berjarak denganmu, membisu bersama kerang, mematung bersama
pepohonan, terlelap bersama daun-daun layu. Hanya ingin menunggumu,
menyelesaikan tugas pengabdianmu.
Aku
kecolongan, kau temukan dia disela pengabdianmu, kau lupakan aku!
Sintaku,
kau bukanlah sinta dalam kisah cinta Rama dan Sinta, aku juga bukan Rahwana musuh
abadi Sang Rama, aku hanya seorang yang bernasib sama seperti Rahwana yang
berlutut memohon cinta Sang Dewi Sinta, dan ku anggap kau lah Sintaku. Pada takdirnya
Rahwana tidak akan menikah dengan Sinta, sama seperti aku dan kau, tak akan
bersama. Takdir Rahwana untuk mencintai Sinta juga tak akan hilang, meski Sinta
telah tiada. Sinta tetap ada dalam bayang Rahwana meski Sinta telah tiada,
inilah ada yang tiada.
Benar
katamu, “cinta adalah takdir dan jodoh adalah nasib, kau boleh berencana
menikah dengan siapa saja tetapi kau tak dapat berencana cintamu kepada siapa!”
Kusudahi
pengembaraanku mencari senja disetiap sudut cakrawala. Akan ku buang
pengharapanku, tetapi akan tetap ku simpan kecintaanku dalam hatiku, karna kau-lah
Sintaku.
ConversionConversion EmoticonEmoticon