Waterpass


Awal perpindahan kami di Subulussalam, Pa’e kerja serabutan apa yang bisa Ia kerjakan pasti dikerjakan, atau sekedar mondar-mandir cari kenalan di kota yang baru kami tempati. Seingatku dulu, waktu di Tran, tempat kami sebelum pindah Pa’e biasanya duduk dipangkalan ojek mengantar orang-orang yang ingin keluar atau masuk kedalam desa kami itu dan sorenya Pa’e pergi ke pinggiran PT kelapa sawit mencari sayur kangkung lalu berkeliling menjualnya. Aku sering melihat ketika bermain di depan rumah, Pa’e melintas dengan sepeda motor CB bututnya dan kangkung membumbung melebihi tinggi badannya dibelakang menelekson-nelekson.

Ini tempat tinggal baru, pasti menjadi tantangan baru bagi Pa’e. Aku mulai masuk sekolah dasar tahun ini, dan abangku melanjutkan kelas 3 sekolah dasarnya disini, sedangkan adikku nomer tiga masih diayun Ma’e diruang belakang sambil Ma’e memasak masakan buat kami. Mungkin adikku masih butuh susu, dan aku butuh seragam dan buku-buku baru, abangku ku juga pasti begitu. Untung ada Om Katri yang bisa menutupi kebutuhan kami sementara sebelum Pa’e mendapat pekerjaan tetap.

“Mas arep kerjo opo neng kene?” Kata Om Katri
“Sek, ndelok-ndelok sek Tri. Mbecak koyone penak” Jawab Pa’e
“Yowes nek ngono, sesok tak golekke becak-becak second”
Pa’e diam saja.

Tak lama setelah percakapan malam itu, sebuah becak motor bermesin Honda CB terparkir didepan rumah tumpangan kami. Becak yang dibeli dari uang pemberian Om Katri dan Nenekku ternyata sia-sia, dan hanya terparkir didepan rumah saja. Alasannya waktu percobaan pertama, Pa’e gugup, Pa’e mengambil kesimpulan dia tidak bisa mengendarai becak motor. Hasilnya Pa’e menganggur lagi untuk sementara waktu.
“Aku ora wani Tri, abhot sebelah!” Keluh Pa’e
“Oala, enjur piye nek ngono?”
“Disewakke wae nek ngono Tri Becak’e dari pada nganggur,” Skak!
“Yoweslah nek ngono.”

Tiga hari setelah percobaan gagal itu, ada juga orang yang mau menyewa becak kami dengan sistim setoran. Setiap pagi, penyewa itu datang menjemput becak dan saat sore penyewa itu mengantar becak kami pulang, kadang kalau beliau tidak lelah kami sering diajaknya jalan-jalan berkeliling. Pa’e juga pernah mengajak aku dan abangku berkeliling dengan becak kami.
Pa’e tak banyak omong, kadang kalau kami minta jalan-jalan naik becak dan Pa’e menolak, dia hanya diam saja. Mungkin dia takut kalau-kalau terjadi apa-apa karena Pa’e tidak piawai mengendarai becak motornya. Pernah sekali Pa’e lagi berbaik hati dan mengajak kami berkeliling naik becak kami. Aku lihat Pa’e, kedua tangannya kaku memegang setang, matanya terus kedepan tidak menoleh kekanan dan kekiri dan mulutnya seperti menggerutu, seharusnya aku tak menjadikan Pa’e seorang supir becak yang kaku.

***
Aku ingat, malam itu kami kedatang tamu seorang Ibu-Ibu sebaya dengan Ma’e kerumah tumpangan kami.
“Gimana sekolah anak-anak Mbak?” Tanya Ibu yang tak pernah kulihat sebelumnya itu.
“Alhamdulillah lancar kak, si Dwy masuk kelas satu, Si Eko nyambung, kelas tiga sekarang dia.” Jawab Ma’e
“Didepan itu?”
“Iya, Oom nya kok yang masukin kesitu, katanya di MIN aja, disitukan kan dari kelas satu udah diajarin sholat,”
“Ouh bagus lah Mbak, memang bagus itu MIN, anak-ku aja mau aku masukin situ Mbak, karna jauh, yaudahlah di SDN3 aja pikirku.”

Aku membaca, mungkin inilah gerak-gerik seorang Ibu-ibu untuk memulai bahan cuap-cuapannya. Sudah tidak pantas untuk mendengarkan isi pembicaraan mereka. Aku pindah, duduk diluar. Tapi suara samar-samar obrolan mereka masih terdengar ditelingaku.

“Iya Mbak, aku kalo manggil Mas Suroso itu, Mas helm kuning, dia pula yang cuma pake helm ya kan, suamiku mana pernah pake helm dia kalo kerja.” Oceh Ibu tamu Ibu itu.
Aku tahu, Ibu yang sedang asik mengoceh dengan Ma’e adalah istri dari kawan Pa’e kerja. Mungkin dia datang untuk perkenalan, apalagi dia tahu kalau kami merupakan orang pindahan disini.
Yang kutangkap dari pembicaraan mereka adalah Pa’e sudah mulai bekerja, artinya dia tidak menganggur lagi. Sore tadi aku juga melihat Pa’e seperti yang Ibu itu omongkan, Helm kuning. Dia diantar pulang temannya, seperti yang dijelaskan Helm kuning melekat dikepala Pa’e dan sebuah waterpass dicangkingnya.
Aku tahu sekarang, Pa’e bekerja sebagai tukang bangunan, dan Ibu yang datang itu merupakan istri kepala tukang atau istri bos tempat Pa’e bekerja sekarang.
Berbagai ukuran sekrap, rol siku, gergaji, martil dan gulungan-gulungan benang nilon tersusun agak berantakan ditas kerja Pa’e. Tas yang terbuat dari rajutan plastik tipis yang mulai semerawut barisan rajutan atasnya. Aku pasti hafal ketika tas goni bekas karung beras kami berisi waterpass pasti Pa’e sedang bekerja disalah satu rumah untuk memasang keramik.
Aku pernah diajak menemainnya memasang keramik tempat Ia bekerja tak jauh dari rumah tumpangan kami.
“Ambilkan waterpass Wik!” Perintahnya
“Ini?” Tanyaku, sambil memegang sebuah seperti penggaris pangang namun ada gelembung air di tengah-tengahnya.
“Iya!” Jawabnya
“Emang ini buat apa Pa’?”
“Ini buat ngukur kerataan, kalau gelembungnya ini di tengah berarti dia udah rata, kalau gelembungnya dipinggir berarti belum rata, jadi kita harus meratakannya lagi” jelasnya.
“Ouh !” aku hanya mangguk-mangguk.

Dalam kehidupan kami aku mengerti, aku lah potongan keramik, Pa’e waterpass-nya, dan Ma’e pemasang keramiknya. Pa’e tak berbicara, ia hanya memberi tanda, aku tak mengerti apa-apa, aku terlalu kecil untuk mengerti symbol, Pa’e tak pedulikan itu, karena dia bukan orang yang piawai menasehati. Ma’e lah yang selalu menjadi orang tercerewet menasehatiku, ketika gelembung air Pa’e berada dipinggir kiri atau kanannya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment